Senin, 25 Mei 2015

Adisi Eradikasi

Di pertengahan semester, aku teringat pertemuan satu perempuan. Purnama tercantik yang menggantung di langit keemasan, malam paling teduh yang pernah aku dapatkan. Secangkir kopi yang mempertemukan kita di satu meja, sedikit sapa, dan aku kau jejali pertanyaan penuh kenapa. Terutama tentang kekosongan hati kita masing-masing, aku kira. Sebelum kau terisak akan satu nama yang menderaimu dalam air mata.

Aku terjebak dalam nostalgia yang sama. Secangkir kopi yang kita buat berdua, aku pahitnya dan kau manisnya. Meneguknya kau puas, dari itu aku dapatkan ampas; Naas dan berbekas.





Aku ingin berdamai dengan masa lalu, merelakan ketidakrelaan paling nyata dalam ketidaknyataan yang pernah aku nyatakan..


Empat bulan sejak kabar bahagiamu, aku masih saja sibuk mencari penggantimu. Aku rela atas keputusanmu memilihnya, yang aku tak rela hanya kepada siapa kini aku harus mengalamatkan cinta? Di kepalaku wajahmu telah menjadi prasasti, merusaknya hanya akan menyakiti mimpi. Walau sekedar angan namun itu satu-satunya cara menjamahmu dari kejauhan. Sebab memilikimu aku tak pernah bisa, penolakanmu adalah sehebat-hebatnya kuasa.

Membunuh rasa.
Penuh terpaksa.
Aku tertatih menyeret hati yang tersiksa.

Menguap penuh harmoni, satu per satu rinduku melantunkan melodi. Alunan perih dalam kemegahan paling alami. Membawa luka tanpa henti, mengitari hari penuh sesak hingga bahagia seakan tak pernah lahir ke bumi. Begitu ramai tanpa sedikitpun damai, riuh menggema melepuh tak terima.

Menghantam logika.
Peluh menerpa.
Aku terkapar menahan lebam yang merata.

Padahal aku ingin memelukmu seperti rembulan yang berhamburan bintang di sekitarnya, tetap kaulah satu-satunya. Tak terhindarkan derap kecewa berhamburan, bukan aku yang kau rencanakan; Bukan aku yang kau inginkan di masa depan. Mengertilah, tak secepat itu cinta berpindah. Bahkan jika aku berhasil menghilangkanmu dari hati, aku masih harus bergelut dengan perasaan tentang siapa penggantimu nanti.

Menikam langkah.
Perih terasah.
Aku tersayat menimang duka yang berdarah.

Mimpi kita tinggal buaian. Dusta paling nyata untuk diceritakan. Sehingga aku benar-benar ingin berdamai dengan kenangan, seperti adukan kopi malam ini yang tak teringat kala air telah mencampurnya. Aroma yang menggulung udara, menenangkan degub jantung akan amarah yang merajalela. 

Ternyata.
Tak seindah itu adanya.

Waktu yang paling tahu kapan aku bisa melupakanmu, maaf berderet di setiap detak menuju hatimu. Bahwa aku masih mencintaimu. Aku. Masih. Mencintaimu. Tak bisa dihentikan, tentangmu masih utama di perasaan. Anggap saja ini dosa terbaik untukku, mencintai seseorang yang telah jadi muara rindu. Karena cinta tak bisa dipaksakan, aku tak pernah menuntut kau untuk mencintaiku maka bebaskan aku untuk tetap menaruh rasa padamu.

Meletup-letup.
Pintu tertutup.
Aku tersenyum menanti senyum yang terkatup.

Selamat berbahagia atas hidupmu, kelak aku akan menyambangimu sembari mengucap itu. Tapi untuk sekarang, izinkan kepadamu aku masih mengucap sayang sampai nantinya berganti usang. Satu hal yang paling aku takutkan adalah bila akhirnya kau menyadari siapa yang paling mencintai. Pisau tertajam yang akan menyadarkan, robekan paling tidak sopan yang menengggelamkanmu dalam tangisan, rengekan terkeji dari kesadaran yang tak terelakkan.

Menusuk hati.
Tepat mengunci.
Aku siap menertawakan sesalmu dari cinta yang telah mati.

Dan untukmu aku siap bersaksi, pemakaman nurani penuh ratap pucat pasi..

(Wiranagara.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar